Thursday, June 26, 2008

Kurator Permata Nauli Daulay Diduga Main Mata


CIBUBUR
,

Rencana lelang aset PT Sedjahtera Industrial & Trading yang ditangani oleh kurator Permata Nauli Daulay mendapat tanggapan serius dari Direktur PD Sumber Agung, Darsio. Ia menegaskan bahwa lelang tersebut penuh dengan tipu daya dan akal-akalan. Demikian disampaikan Darsio, dalam jumpa pers yang dilakukan di Danau Resto, Cibubur, Jakarta Timur, Kamis, (26/2008).

Menurut Darsio, lelang yang rencananya akan dilakukan pada Jumat, 4 Juli 2008 harus dibatalkan, karena banyak pihak yang dirugikan. “Ini pasti ada scenario antara curator, pemilik pabrik, dan calon pembeli,” kata Darsio bersemangat.

Darsio menjelaskan banyak kejanggalan yang dilakukan oleh kurator, di mana ada selisih harga yang cukup besar dari penawaran sebelumnya. Di samping itu barang-barang yang ada di dalam pabrik berkurang hingga 80 persen.

Ia menambahkan bahwa pada tahun 2004, Haji Malik pernah mengajukan penawaran harga sebesar RP45 miliar, kepada KP2LN atas bangunan pabrik beriku tanah seluas 7,6 Ha di Citeureup, Bogor. Namun sekarang oleh pihak kurator Permana Nauli Daulay, pabrik tersebut ditawarkan dengan harga yang jauh lebih murah yakni Rp23 miliar.

“Saya melihat banyak kejanggalan atas lelang yang dilakukan oleh kurator. Anggap saja, harga tanah di kawasan itu, batas bawahnya sekitar Rp500 ribu per meter. Bangunan dan besi-besi yang ada di dalamnya bisa mencapai harga Rp40 miliar. Sekarang kenapa total keseluruhan hanya ditawarkan Rp23 miliar. Ini pasti ada kolusi antara kurator, pemilik pabrik, dan calon pembeli,” paparnya kesal.

Lebih jauh Darsio menduga, calon pembeli sudah dipersiapkan oleh pemilik, sehingga mereka bisa mengatur harga semaunya. “Lebih aneh lagi, kurator tidak jeli melihat kejanggalan-kejanggalan ini. Atau justru mereka terlibat dalam persekongkolan ini,” papar Darsio yang sudah menunjuk pengacara kondang O.C. Kaligis untuk menangani kasus ini.

Sementara pihak kurator Permata Nauli Daulay, tidak mau berkomentar saat dimintai keterangan seputar kecurangan yang dituduhkan pihak Sumber Agung. “Saya tidak mau komentar dulu deh,” kata Andi Hutagalung salah satu anggota kurator.

Seperti diketahui PT Sedjahtera mempunyai hutang kepada Bank Mandiri sebesar Rp30 miliar, kepada PD Sumber Agung sebesar Rp2,7 miliar dan kepada CV Tunas Warna Sejati sebesar Rp 1 miliar. Pemilik PT Sedjahtera tidak mampu membayar utang-utang mereka. PT Sedjahtera digugat oleh PD Sumber Agung agar segera melunasi utangnya. Oleh Pengadilan Negeri Cibinong, gugatan PD Sumber Agung dikabulkan, dan PT Sedjahtera diwajibkan membayar seluruh utang-utangnya. Aset PT Sdjahtera dikuasai oleh KP2LN (Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara).

Pengumunan lelang asset PT Sedjahjera oleh KP2LN dibuka pada 11 Juli 2006. Saat itu ada 130 item barang-barang yang ada di pabrik. Lelang tidak ada peminat, karena pihak pemilik selalu menaikkan harga.

Darsio menyatakan keheranannya atas penyusutan jumlah barang yang ada di dalam pabrik. “Sekarang dalam pengumuman lelang yang dilakukan oleh kurator, hanya 36 item barang, tidak termasuk tanah dan bangunan, padahal dulu ada 136 item. Lalu ke mana perginya 94 item barang lainnya,” tanya Darsio.

Lebih jauh Darsio menegaskan bahwa lelang tidak bisa dilakukan karena masih ada pihak-pihak yang tidak dicantumkan sebagai penerima hak, di antaranya PD Sumber Agung dan CV Tunas Warna Sejati.

Saturday, June 21, 2008

Forum Purworejo, Blog Komunikasi Blogger Purworejo: Purworejo

Saturday, May 17, 2008

Teks Cover Belakang Human Rights & Terorrism

Human rights issues have been a popular issue fought by countries/states that have just enjoyed democracy. For many years, the democracy system was known as the political system that mainly focuses on upholding human rights. Developing and newly independent states would usually be the countries that have just enjoyed democracies. These countries face big challenges in enforcing human rights in accordance with the standard made by developed countries.

While these countries are still struggling in enforcing human rights, since the September 11 and Bali bomb tragedy; the head of the state and the state itself are facing another big challenge: eradicating TERRORISM. It seems that the current stands in international law are to eradicate terrorism by hunting the terrorist in whatever manner; even when the human rights’ of the alleged terrorist should be violated. This stands is shown from the act of the United States of America in Guantanamo Bay and Iraq. Other states also have different motives in eradicating terrorism. Some states eradicate terrorism because such states do not wish to be ‘ostrasized’ by the international community; fearing that they might look as not being supportive to the war on terror.

Indonesia has also experienced the impact of the eradication of terrorism. One example of the impact experienced by Indonesia is the travel warning issued or declared by some states not to visit Bali. The travel warning was issued and/or declared by states because of the threat of terrorism in Indonesia. The states issuing and/or declaring travel warning gives the Bali bombing tragedy as an example of the threat of terrorism.

The policy of eradicating terrorism is also implemented in Afghanistan. Such policy is implemented in Afghanistan because Osama bin Laden or ‘the wanted head of terror’, is there.

Philip C. Jessup Moot Court is a Moot Court that discusses a lot of human rights issues, and particularly this year, the issue is terrorism and human rights. To be the winner of this Moot Court the participant must be familiar with the issues mentioned above. However, being familiar with such issues sometimes is not enough. The participants must also be able to abstract the legal issues and legal analysis that relates to international law, human rights, and terrorism.

Thursday, November 15, 2007

Anak Agung dan SBY

Anak Agung Gede Agung di Mandarin

Anak Agung Gede Agung

Friday, September 21, 2007

Lebaran Yang Meresahkan

Beberapa tahun terakhir ini, umat Islam Indonesia dibikin bingung oleh segelintir tokoh agama, dalam hal penentuan 1 Syawal (Lebaran) yang biasa disambut gegap gempita oleh sebagian besar penduduk ini. Lebaran yang seharusnya dirayakan bersama-sama dan suka cita oleh semua umat Islam, ternyata dilakukan sendiri-sendiri dan penuh keraguan. Akibatnya, unsur Ukhuwah Islamiah yang biasa digembar-gemborkan tokoh agama, menjadi tidak bermakna.

Satu hal yang menjadi penyebab adalah kebiasaan ormas Islam Muhammadiyah yang super demonstratif mengumumkan awal Ramadhan maupun awal Syawal, sebelum pemerintah yang sah mengumumkan hal itu. Dan biasanya, perhitungan Muhammadiyah berbeda dengan perhitungan pemerintah. Sepertinya Muhammadiyah hanya menggunakan satu patokan Hisab (perhitungan), sedangkan pemerintah menggunakan dua patokan: Rukyah (penglihatan) dan Hisab.

Mari kita lihat Hadis dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081).

Hadis ini biasa dipakai untuk mendasari penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan metode rukyatul hilal. Jika rukyatul hilal tidak dimungkinkan karena cuaca atau alasan lain, maka baru menggunakan metode hisab dengan menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari. Artinya, dalam menentukan awal Ramadhan atau awal Syawal, yang menjadi patokan adalah rukyah terlebih dahulu. Jika ternyata rukyah tidak sempurna, maka kita diminta untuk menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari.

Menarik sekali, karena Muhammadiyah mendahulukan metode hisab dibandingkan rukyatul hilal, padahal berdasarkan hadis di atas, seharusnya menentukan rukyatul hilal terlebih dahulu baru kemudian metode hisab.

Dalil lain mengatakan, “Taatilah Allah dan Rosul, dan taatilah Ulil Amri di antara kalian”.

Ajaran Allah dan Rosul terkandung di dalam Alquran dan Hadis, sedangkan Ulil Amri adalah pemerintah (Depag), maka termasuk dalam penentuan Idul Fitri hendaknya kita mempercayakan hal tersebut kepada entitas yang memiliki otoritas, yakni pemerintah. Pertimbangannya adalah: Pertama, berdasarkan firman Allah di atas, Ulil Amri memiliki otoritas untuk ditaati, selama tidak memerintahkan hal-hal yang maksiat. Kedua, pemerintah memiliki sarana dan prasarana yang lebih lengkap untuk menentukan Idul Fitri tersebut, termasuk dalam sumber daya manusianya. Terlepas dari tuduhan bahwa Depag cacat moral menjadi sarang koruptor, tetapi secara kelimuwan, SDM di Depag lebih memiliki otoritas dan kemampuan. Maka, bagi yang tidak memiliki otoritas dan kemampuan, sebaiknya mengikuti pemerintah saja.

Pertanyaan saya, mengapa pemerintah, tokoh agama, dan tokoh ormas Islam tidak sudi duduk berdampingan meminimalisasi perbedaan kemudian membuat kesepakatan dan keputusan bersama. Biarlah perdebatan itu berada di dalam wilayah para tokoh, bukan diumbar bebas di tingkat masyarakat. Umat pasti akan mengikuti keputusan yang dibuat para tokoh itu.

Yang terjadi sekarang adalah, ketika para tokoh itu merasa “haram” untuk duduk berdampingan, umat Islam yang bodoh ini diminta untuk menentukan keyakinan sendiri dengan penuh keraguan dan keresahan.

Kebiasaan Muhammadiyah yang ultra demonstratif menentukan awal puasa dan Idul Fitri tersebut, telah nyata-nyata merusak persaudaraan umat Islam itu sendiri.

Lihat juga: http://www.detik.com/indexberita/indexfr.php

Sri Widodo
Islam Abangan
Puri Bojong Lestari AA-18, Citayam – Depok 16921
No. KTP. 020469.

Wednesday, September 12, 2007

Tanah Probosutedjo Diserobot Lagi

Lagi, tanah pengusaha nasional Probosutedjo di desa Hambalang, Citeureup, Bogor diperkarakan oleh sekelompok orang yang mengaku berhak atas lahan seluas 255 Ha. Mereka yang tergabung dalam Forum Hatti (Hambalang, Tangkil, dan Sukahati) mengadukan Probosutedjo ke DPRD Bogor, kemarin. Hadir dalam pertemuan itu antara lain, pihak Probosutedjo diwakili oleh H. Anim S. Romansyah, Wayan, dan Hardi, pihak penggugat diwakili oleh Danuwijaya, pihak ketiga di antaranya anggota DPRD Kabupaten Bogor, BPN, Dinas Kehutanan dan Perkebunana, serta Camat Citeureup.

Dalam aduannya, Forum Hatti mengaku tanah seluas 255 Ha milik masyarakat desa Hambalang belum dibebaskan oleh Probosutedjo, tetapi pada tahun 2006, BPN justru mengeluarkan perpanjangan HGU No. 9 atas nama PT Buana Estate milik Probosutedjo.

Sementara itu, Anim Sanjoyo Romansyah, Ketua Bidang Pertanahan PT Buana Estate, menegaskan, perseteruan ini mustinya tidak harus terjadi kalau masyarakat memahami persoalan hukum di Indonesia. Pasalnya lahan tersebut sudah pernah digugat oleh pihak lain dan sudah ditetapkan oleh PTUN sebagai milik PT Buana Estate secara sah. “Kalau mau menguasai lahan itu silakan gugat ke PTUN, bukan ke DPRD,” kata Anim.

Anim menjelaskan, pada 26 April 2007, Dolok F. Sirait dari PT Genta Prana dan HM Sukandi secara pribadi, pernah mencoba-coba menggugat PT Buana Estate atas lahan 211 Ha tersebut. Namun, PTUN Jakarta Timur menolak gugatan mereka, karena bukti dan saksi-saksinya sama sekali tidak memiliki unsur yang kuat. Bahkan, HM Sukandi mendekam di penjara atas perbuatannya merusak lahan di lokasi tersebut.

Kini, muncul lagi oknum yang coba-coba ingin menguasai lahan tersebut. Kali ini datang dari LSM Forum Hatti, yang diotaki oleh Danu Wijaya, mantan Kepala Desa Hambalang dan Edi dari PT Anugerah Inti Persada. Kedua oknum ini memanfaatkan anggota Dewan dan beberapa gelintir rakyat sekitar, untuk membangun opini bahwa mereka lah yang paling berhak atas lahan tersebut. “Kalau mereka memahami hukum, tidak akan melakukan hal-hal semacam itu, karena akan sia-sia,” tegas Anim.

Anim juga menyayangkan adanya isu bahwa PT Buana Estate tidak mengindahkan SK BPN No.9/HGU/BPN/2006, tentang perpanjangan waktu HGU. “HGU kita habis pada 31 Desember 2002, tetapi pada 22 Maret 2000, kita sudah memperpanjangnya. Sertifikatnya ada, bagaimana mungkin dikatakan tidak mengindahkan SK BPN,” kata Anim terheran-heran.

Anim juga menyesalkan cara-cara mereka dengan menebar teror dan isu kepada masyarakat sekitar. Jika PT Anugerah Inti Persada hendak membeli lahan tersebut, kata Anim, sebaiknya mereka datang baik-baik ke Buana Estate, kita bicarakan dengan Pak Probosutedjo. “Jangan menggunakan rakyat kecil untuk tameng, kasihan mereka,” papar Anim.

Anim menegaskan, hubungan antara PT Buana Estate dengan warga setempat, sejauh ini sudah terjalin harmonis. Sampai saat ini sudah ada sekitar 600 penggarap yang memanfaatkan lahan dan mendapat izin dari PT Buana Estate. “Kami tidak mengharapkan hasil bumi dari para penggarap. Kami persilahkan masyarakat setempat untuk mengolah lahan kami, silahkan ambil hasilnya,” kata Anim.

Sejauh ini, lanjut Anim, sejak bergabung dengan PT Buana Estate, tingkat kesejahteraan penduduk sekitar semakin meningkat dengan makin banyaknya warga yang memiliki kendaraan. Lagi pula, semua warga sudah memahami status mereka hanya sebagai penggarap. “Jika ada warga yang terhasut oleh oknum-oknum penyerobot tanah, itu hanya sebagian kecil saja,” lanjut Anim.

Kepada para penyerobot tanah, Anim mengingatkan agar mereka menggunakan iman dan hati nuraninya. Janganlah sekali-kali menguasai tanah yang bukan haknya. Ketahuilah, kata Anim, kita semua berasal dari tanah, hidup di atas anah, dan kembali lagi di kalang tanah. “Jika ada persoalan di antara kita, sebaiknya kita selesaikan secara damai sesuai jalur hukum yang berlaku, bukan dengan cara-cara kekerasan,” kata urang Bogor ini.

Menanggapi perseteruan ini, anggota DPRD Kabupaten Bogor tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya memberi pandangan bagaimana hak dan kewajiban PT Buana Estate terhadap lahan yang dikuasainya. Anggota dewan juga menyarankan pihak penggugat, agar mempersiapkan berkas-berkasnya untuk keperluan persidangan, sambil menunggu proses pengadilan di PT TUN yang kini telah berjalan. “Kita tunggu saja hasilnya,” kata Wawan dari Fraksi PKS ini.

Sunday, September 09, 2007

Pengembalian Aset Hasil Korupsi Tidak Maksimal.

Aset-aset hasil korupsi yang seharusnya dikembalikan kepada negara, sejauh ini tidak berjalan secara efektif dan efisien. Untuk itu perlu membentuk agen pengembalian asset dengan hak mengawasi aktivitas otoritas hukum pengembalian asset tindak pidana korupsi, baik prosedural maupun substansial. Demikian dikemukakan YB Purwaning M. Yanuar, dalam sidang terbuka doctoral (S3) di Audotorium Pasca Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung, Jumat, (07/09).

Purwaning, yang tercatat sebagai advokat senior di kantor O.C. Kaligis & Associates, dalam disertasinya mengemukakan, bahwa sistem yang berlaku saat ini belum efektif dan efisien dalam pengembalian aset yang maksimal. Hal ini terjadi karena mekanisme pengembalian aset yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku termasuk KUHAP, terlalu sederhana dan belum memenuhi prinsip-prinsip dan standar yang berlaku internasional. Akibatnya, tidak memungkinkan pengembalian asset secara efektif dan efisien.

Bahkan, kata Purwaning, beberapa negara menginginkan agar pengembalian aset diperlakukan sebagai hak yang tidak dapat dihapus atau dicabut. "Keinginan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa korupsi mengakibatkan hilangnya kesempatan masyarakat negara-negara korban korupsi untuk menikmati hak yang tidak dapat dicabut atau dihapus, yaitu hak untuk secara layak, bahagia dan sejahtera," kata Purwaning, anggota delegasi RI di PBB untuk pembahasan Konvensi Antikorupsi 2003 di Wina, Austria.


Menurut Purwaning, untuk mewujudukan pengembalian secara efektif dan efisien adalah dengan membentuk UU tentang Pengembalian Aset serta membentuk Badan Pengembalian Aset. Badan ini nantinya, kata Purwaning, bertugas mengawasi aktivitas otoritas-otoritas hukum pengembalian aset, baik procedural maupun substansial. Dengan demikian diharapkan pengembalian asset hasil korupsi akan lebih maksimal.

Lebih jauh Purwaning menegaskan bahwa pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi dari perspektif hukum pidana, merupakan upaya mereformasi dan membangun institusi hukum yang dapat mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi pada tingkat internasional, regional, dan nasional.

Dalam disertasi yang berjudul “Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Berasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Purwaning, berpandangan bahwa teori pengembalian asset yang dibangun di atas pandangan dan prinsip-prinsip teori keadilan sosial, merupakan teori hukum yang menjelaskan pengembalian asset berdasarkan prinsip-prinsip keadilan social yang memberikan kemampuan, tugas, dan tanggung jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang kepada individu-individu masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.

Teori pengembalian aset ini, kata Purwaning, dilandaskan pada prinsip dasar antara lain: berikan kepada Negara apa yang menjadi hak Negara. Prinsip ini sebangun dan setara dengan prinsip yang merupakan kewajiban Negara terhadap rakyat, yaitu berikan kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat.

Pendapat ini dikemukakan oleh advokat Purwaning M Yanuar di hadapan tim pengujinya untuk meraih gelar doktor ilmu hukum di Universitas Padjajaran, Bandung, Jumat lalu. Tim penguji yang diketuai Prof HA Djaja Saefullah PhD, didampingi delapan penguji lainnya antara lain lainnya adalah Prof Dr Romli Atamasasmita SH, LLM (Ketua Tim Promotor), dengan anggota promotor antara lain, Prof Dr Muladi SH, Dr Yunus Husein SH,LLM, Prof Indriyanto Senoaji SH, Prof Dr Ahmad M Romli SH, Prof Dr Hj Kusdwiratri Setiono Psi.

Usai memperoleh gelar akademis tertinggi dengan predikat cum laude, Purwaning mendapat ucapan selamat dari para kerabat, teman sejawat, dan para pembimbing yang antara lain terlihat DR. O.C. Kaligis, DR Tommy Sihotang SH, Dr. Djohansyah SH, Rudhy Lontoh, Indriyanto Seno Adji, dan Prof. Muladi. (wid)