Wednesday, May 16, 2007

Duh, Bahasa Indonesia

Di koran-koran saya sering menjumpai kata-kata aneh seperti ini: Fesyen, Eksen, Cek en ricek, Piksel, Kongratulesen, Kroscek, Fred ciken, iIegal loging, Resor, Mal, Miskol, Mane londring, Carjer, Dicas, friser dll masih banyak banget. Pengindonesiaan istilah asing oleh koran, hampir mirip dengan bahasa sms atau bahasa sopir truk yang tak sengaja sering kita baca. Seorang pakar bahasa pernah mengatakan bahasa bersifat dinamis dan tergantung kesepakatan.

Pertanyaannya siapa yang menyepakati dan kapan. Sama dengan kata "gadering" yang baru kali ini saya baca, jika gadering sudah diindonesiakan, seharusnya "gadering anggota". Juga, kalau kata "member" sudah diindonesiakan mustinya "gadering member". Tapi kalau belum diaku oleh bahasa Indonesia, mustinya tidak seperti itu nulisnya. Sebaiknya AJI juga peduli terhadap perkembangan bahasa kita.

Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Dr Dendy Sugono menilai pemakaian bahasa Indonesia dalam dunia pertelevisian di tanah air kini kian memprihatinkan. "Banyak di antara mereka (stasiun televisi, Red) menggunakan istilah bahasa asing dalam mata acaranya. Bahkan, siaran yang ditayangkan cenderung tidak taat asas dan aturan bahasa Indonesia yang baku," katanya di Padang, Senin (19/12).

Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka televisi tidak lagi menjadi media pembelajaran bahasa Indonesia bagi masyarakat, tetapi sebaliknya ikut meminggirkan bahasa nasional ini. Dendy memberi contoh tentang tayangan sinetron dan pembawa acara hiburan di televisi swasta nasional, yang cenderung menggunakan bahasa Jakarta. Hal itu berarti lokalitas ibukota menjadi acuan bagi pemakaian bahasa di Tanah Air. "Kami sudah mendatangi sejumlah stasiun televisi swasta nasional guna melakukan penjajakan terkait penggunaan bahasa Indonesia.

Namun upaya tersebut masih sebataspeninjauan, karena kami tidak memiliki dasar hokum untuk menertibkan," katanya. Pihaknya juga sudah menyampaikan kepada pemilik stasiun televisi swasta nasional mengenai mata acara yang memiliki kelemahan mendasar dalam penggunaan bahasa Indonesia. Jika bahasa Indonesia yang dicitrakan televisi buruk, maka secara persuasifmasyarakat juga diajak untuk berbahasa yang buruk pula. Tugas untuk menjaga dan menghargai bahasa nasional bukan hanya tugas pemerintah semata, tetapi juga pihak swasta, termasuk media massa yang memiliki andil besar terhadap perkembangan bahasa. "Kita memerlukan adanya gerakan dan kesadaran semua pihak untuk melestarikan bahasa Indonesia," ujar Dendy.(Ant/A-16)


Bahasa ini memang rusan yang agak lucu. Dulu pernah juga ada yang menulis "main set" di sebuah media padahal yang dimaksud adalah mind set. Kalau tak salah Thoriq yang mengeritiknya. Sebelumnya, banyak pula aktipis (maksudnya pake "f", tapi sayah kan orang Sudna") yang dalam percakapannya diwarnai kata "peta konflik". Misalnya, "kami dipeta-konflikkan". Padahal awalnya adalah fait accompli. "Kita di-fait-accompli". Karena sering terdengar, aktivis lain yang tak begitu sering menemukan kata itu dalam artikel atau tulisan yang dia baca, jadi salah mengerti. Dan langsung menyerapnya dan menjadikannya justru sebagai kota kasa, eh kosa kata baru. Dan saya membayangkan, berapa banyak masalah di kalangan aktipis fro repormasi (juga fara aktipis IKIF yang sekarang di Bandung jadi UFI, serta mahasiswa PISIF maupun PIKOM Unfad) yang ditanggapi secara salah paham gara-gara salah tangkap atas istilah itu. Sekarang member gadering.

Kesepakatannya harusnya oleh dewan bahasa. Tapi dewan bahasa pernah mengeluarkan daftar pengindonesiaan istilah2 komputer yg kita ketawain abis, inget gak? Kalo yg belum ada terjemahannya sebaiknya pakai istilah asli seperti 'gathering'.Dan karena 'gathering' dengan mudah kita ganti 'ngumpul' atau apa, ya nora aja kalo pakai inggrisnya.

Tebet, 20 Desember 2005

Duh, Penguasa Kita

Sulit membedakan antara penjajah zaman dulu dengan penguasa kita saat ini. Kata nenek saya, penjajah itu kejam dan biadab. Mereka suka menindas, memaksa, dan memeras rakyat dengan membebani pajak yang tinggi. Mereka tidak pernah memperhatikan kesejahteraan rakyat. Hasil bumi rakyat dirampas untuk kepentingan penjajah. Rakyat hanya dimanfaatkan tenaganya belaka. Para buruh digaji kecil. Para petani dipaksa kerja Rodi. Konon, kerja Rodi merupakan proyek Belanda untuk menghabisi kaum pribumi. Nyatanya memang benar, berapa puluh ribu rakyat kita mati kelaparan.

Kini, penguasa kita melakukan hal yang sama. Hanya bedanya, dengan cara yang agak santun, tetapi buntutnya sama saja, mencekik rakyat. Tarif listrik melambung, air harus bayar, jalan harus bayar, pajak selangit, pungutan di mana-mana, beras langka, BBM dipaksa naik, petani dipinggirkan. Jika petani mulai panen, penguasa mengimpor beras, akibatnya mereka tidak bisa menikmati hasil tani karena harga anjlok. Jika petani mulai menggarap sawah atau ladang, harga pupuk dinaikkan. Para pedagang diuber-uber, para nelayan dijerat tengkulak, sehingga tidak pernah bisa menjual ikan tangkapannya dengan harga yang wajar. Pegawai rendahan dipunguti berbagai macam pajak. Setiap kali ada kebijakan publik yang ditentang rakyat, anggota DPR langsung membela rakyat. Tapi itu hanya trik saja. Setelah dikasih uang sama penguasa, mereka berbalik mendukung penguasa. Intinya, mental penguasa kita sama dengan mental penjajah.

Mungkin ada benarnya, pemerintah saat ini berperilaku seperti itu, sebab kalau kita tinjau dari naskah proklamasi, memang benar, bahwa proklamasi itu intinya hanya memindahkan kekuasaan Belanda kepada pribumi. Jadi, wajar kalau mereka bermental penjajah seperti Belanda.Berikut saya kutip naskah itu:

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan, d.l.l. diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.


Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia

Soekarno / Hatta

Otak Perusakan Dituntut 1 Tahun 6 Bulan

Cibinong

Kasus Perusakan Lahan

Otak Perusakan Dituntut 1 Tahun 6 Bulan

Jaksa Penuntut Umum PN Bogor menuntut para pelaku perusakan lahan milik PT Buana Estate di Desa Hambalang, Citeureup, Bogor, masing-masing 1 tahun 6 bulan untuk otak perusakan dan 1 tahun untuk pelaku perusakan.

Sidang pembacaan tuntutan pidana terhadap HM Sukandi, 62 tahun, otak perusakan lahan milik PT Buana Estate, yang menjadi terdakwa kasus penyerobotan tanah itu, digelar di PN Bogor, Jawa Barat, Senin (14/5).

Pada sidang kali ini HM Sukandi diancam pidana penjara satu tahun enam bulan, karena menghasut warga untuk melakukan perusakan terhadap tanaman dan lahan milik orang lain. Seperti dalam sidang perdana yang digelar pada 7 Mei 2007, Jaksa memerinci perbuatan Sukandi sebagai otak pelaku dengan menghasut orang lain untuk melakukan perusakan yang bisa merugikan pihak lain. Perbuatan tersebut, menurut Jaksa, dilakukan bersama-sama dengan lima anak buahnya, antara lain Martin, Emmar, Uji, Inaf, dan Harun.

Sementara lima anak buah yang setia menunggu komando HM Sukandi diancam pidana dengan penjara masing-masing satu tahun, karena telah mencabuti kurang lebih 800 tanaman milik orang lain serta mencabuti 20 papan nama milik PT Buana Estate. Hal itu disampaikan Jaksa Penuntut Umum, Trimariani, SH, MH dalam sidang lanjutan kasus perusakan lahan milik PT Buana Estate, di Pengaddilan Negeri Bogor.

Dalam aksinya, para terdakwa yang dikomandoi oleh HM Sukandi secara bersama-sama melakukan pencabutan sebanyak kurang lebih 800 pohon coklat dan mahoni sehari setelah pohon-pohon itu ditanam oleh pihak Buana Estate. Pohon-pohon itu lalu dibuang di sebuah tempat tak jauh dari lokasi.

Dalam sidang yang dipimpin oleh hakim Saryana, SH dan Panitera Saragi, SH ini, jaksa menjerat Sukandi dengan dakwaan pasal 55 ayat 1 dan 2 jo pasal 170 ayat 1 dan 2 (1) KUHPidana. Sedangkan anak buah Sukandi diancam pidana pasal 55 ayat 1 dan 2 jo pasal 170 ayat 1 dan 2 (ke-1) KUHPidana.

Dalam sidang kali ini, para terdakwa berkesempatan memberikan keterangan bahwa dirinya telah mengganti penasihat hukumnya dari Syahrul Bahrum kepada Masdir Kartadja, SH. Sukandi menganggap Syahrul Barum tidak profesional. “Atas pertimbangan ini, maka kami menggantinya,” kata Sukandi.

Sementara itu, di luar persidangan Haji Anim Sanjoyo Romansyah, selaku staf ahli PT Buana Estate bidang pertanahan menegaskan bahwa para mafia tanah tidak bisa didiamkan saja. Sebab, jika didiamkan, mereka akan semakin merajalela menyerobot lahan-lahan miliki orang lain. “Jaringan mereka sudah sangat rapi. Jangan takut, jika dalam posisi benar, kita harus berani melawannya,” kata Haji Anim yang sudah banyak makan asam garam mengelola pertanahan. Anim berharap Majelih Hakim bisa memberi hukuman yang setimpal atas perbuatan para terdakwa.

Sidang ini merupakan buntut dari penyerobotan lahan yang dilakukan oleh HM Sukandi dan PT Genta Prana atas lahan seluas 211 Ha milik PT Buana Estate yang diwakili Haji Anim Sanjoyo Romansyah di desa Hambalang, Citeureup, Bogor. Dalam sidang perdata di PTUN Jakarta Timur, HM Sukandi dan PT Genta Prana menggugat BPN Pusat, BPN Bogor dan PT Buana Estate sebagai tergugat intervensi. Namun gugatan mereka ditolak oleh PTUN Jakarta Timur pada Kamis, (26/04) yang diketuai oleh Kadar Slamet, SH.