Friday, September 21, 2007

Lebaran Yang Meresahkan

Beberapa tahun terakhir ini, umat Islam Indonesia dibikin bingung oleh segelintir tokoh agama, dalam hal penentuan 1 Syawal (Lebaran) yang biasa disambut gegap gempita oleh sebagian besar penduduk ini. Lebaran yang seharusnya dirayakan bersama-sama dan suka cita oleh semua umat Islam, ternyata dilakukan sendiri-sendiri dan penuh keraguan. Akibatnya, unsur Ukhuwah Islamiah yang biasa digembar-gemborkan tokoh agama, menjadi tidak bermakna.

Satu hal yang menjadi penyebab adalah kebiasaan ormas Islam Muhammadiyah yang super demonstratif mengumumkan awal Ramadhan maupun awal Syawal, sebelum pemerintah yang sah mengumumkan hal itu. Dan biasanya, perhitungan Muhammadiyah berbeda dengan perhitungan pemerintah. Sepertinya Muhammadiyah hanya menggunakan satu patokan Hisab (perhitungan), sedangkan pemerintah menggunakan dua patokan: Rukyah (penglihatan) dan Hisab.

Mari kita lihat Hadis dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081).

Hadis ini biasa dipakai untuk mendasari penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan metode rukyatul hilal. Jika rukyatul hilal tidak dimungkinkan karena cuaca atau alasan lain, maka baru menggunakan metode hisab dengan menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari. Artinya, dalam menentukan awal Ramadhan atau awal Syawal, yang menjadi patokan adalah rukyah terlebih dahulu. Jika ternyata rukyah tidak sempurna, maka kita diminta untuk menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari.

Menarik sekali, karena Muhammadiyah mendahulukan metode hisab dibandingkan rukyatul hilal, padahal berdasarkan hadis di atas, seharusnya menentukan rukyatul hilal terlebih dahulu baru kemudian metode hisab.

Dalil lain mengatakan, “Taatilah Allah dan Rosul, dan taatilah Ulil Amri di antara kalian”.

Ajaran Allah dan Rosul terkandung di dalam Alquran dan Hadis, sedangkan Ulil Amri adalah pemerintah (Depag), maka termasuk dalam penentuan Idul Fitri hendaknya kita mempercayakan hal tersebut kepada entitas yang memiliki otoritas, yakni pemerintah. Pertimbangannya adalah: Pertama, berdasarkan firman Allah di atas, Ulil Amri memiliki otoritas untuk ditaati, selama tidak memerintahkan hal-hal yang maksiat. Kedua, pemerintah memiliki sarana dan prasarana yang lebih lengkap untuk menentukan Idul Fitri tersebut, termasuk dalam sumber daya manusianya. Terlepas dari tuduhan bahwa Depag cacat moral menjadi sarang koruptor, tetapi secara kelimuwan, SDM di Depag lebih memiliki otoritas dan kemampuan. Maka, bagi yang tidak memiliki otoritas dan kemampuan, sebaiknya mengikuti pemerintah saja.

Pertanyaan saya, mengapa pemerintah, tokoh agama, dan tokoh ormas Islam tidak sudi duduk berdampingan meminimalisasi perbedaan kemudian membuat kesepakatan dan keputusan bersama. Biarlah perdebatan itu berada di dalam wilayah para tokoh, bukan diumbar bebas di tingkat masyarakat. Umat pasti akan mengikuti keputusan yang dibuat para tokoh itu.

Yang terjadi sekarang adalah, ketika para tokoh itu merasa “haram” untuk duduk berdampingan, umat Islam yang bodoh ini diminta untuk menentukan keyakinan sendiri dengan penuh keraguan dan keresahan.

Kebiasaan Muhammadiyah yang ultra demonstratif menentukan awal puasa dan Idul Fitri tersebut, telah nyata-nyata merusak persaudaraan umat Islam itu sendiri.

Lihat juga: http://www.detik.com/indexberita/indexfr.php

Sri Widodo
Islam Abangan
Puri Bojong Lestari AA-18, Citayam – Depok 16921
No. KTP. 020469.

Wednesday, September 12, 2007

Tanah Probosutedjo Diserobot Lagi

Lagi, tanah pengusaha nasional Probosutedjo di desa Hambalang, Citeureup, Bogor diperkarakan oleh sekelompok orang yang mengaku berhak atas lahan seluas 255 Ha. Mereka yang tergabung dalam Forum Hatti (Hambalang, Tangkil, dan Sukahati) mengadukan Probosutedjo ke DPRD Bogor, kemarin. Hadir dalam pertemuan itu antara lain, pihak Probosutedjo diwakili oleh H. Anim S. Romansyah, Wayan, dan Hardi, pihak penggugat diwakili oleh Danuwijaya, pihak ketiga di antaranya anggota DPRD Kabupaten Bogor, BPN, Dinas Kehutanan dan Perkebunana, serta Camat Citeureup.

Dalam aduannya, Forum Hatti mengaku tanah seluas 255 Ha milik masyarakat desa Hambalang belum dibebaskan oleh Probosutedjo, tetapi pada tahun 2006, BPN justru mengeluarkan perpanjangan HGU No. 9 atas nama PT Buana Estate milik Probosutedjo.

Sementara itu, Anim Sanjoyo Romansyah, Ketua Bidang Pertanahan PT Buana Estate, menegaskan, perseteruan ini mustinya tidak harus terjadi kalau masyarakat memahami persoalan hukum di Indonesia. Pasalnya lahan tersebut sudah pernah digugat oleh pihak lain dan sudah ditetapkan oleh PTUN sebagai milik PT Buana Estate secara sah. “Kalau mau menguasai lahan itu silakan gugat ke PTUN, bukan ke DPRD,” kata Anim.

Anim menjelaskan, pada 26 April 2007, Dolok F. Sirait dari PT Genta Prana dan HM Sukandi secara pribadi, pernah mencoba-coba menggugat PT Buana Estate atas lahan 211 Ha tersebut. Namun, PTUN Jakarta Timur menolak gugatan mereka, karena bukti dan saksi-saksinya sama sekali tidak memiliki unsur yang kuat. Bahkan, HM Sukandi mendekam di penjara atas perbuatannya merusak lahan di lokasi tersebut.

Kini, muncul lagi oknum yang coba-coba ingin menguasai lahan tersebut. Kali ini datang dari LSM Forum Hatti, yang diotaki oleh Danu Wijaya, mantan Kepala Desa Hambalang dan Edi dari PT Anugerah Inti Persada. Kedua oknum ini memanfaatkan anggota Dewan dan beberapa gelintir rakyat sekitar, untuk membangun opini bahwa mereka lah yang paling berhak atas lahan tersebut. “Kalau mereka memahami hukum, tidak akan melakukan hal-hal semacam itu, karena akan sia-sia,” tegas Anim.

Anim juga menyayangkan adanya isu bahwa PT Buana Estate tidak mengindahkan SK BPN No.9/HGU/BPN/2006, tentang perpanjangan waktu HGU. “HGU kita habis pada 31 Desember 2002, tetapi pada 22 Maret 2000, kita sudah memperpanjangnya. Sertifikatnya ada, bagaimana mungkin dikatakan tidak mengindahkan SK BPN,” kata Anim terheran-heran.

Anim juga menyesalkan cara-cara mereka dengan menebar teror dan isu kepada masyarakat sekitar. Jika PT Anugerah Inti Persada hendak membeli lahan tersebut, kata Anim, sebaiknya mereka datang baik-baik ke Buana Estate, kita bicarakan dengan Pak Probosutedjo. “Jangan menggunakan rakyat kecil untuk tameng, kasihan mereka,” papar Anim.

Anim menegaskan, hubungan antara PT Buana Estate dengan warga setempat, sejauh ini sudah terjalin harmonis. Sampai saat ini sudah ada sekitar 600 penggarap yang memanfaatkan lahan dan mendapat izin dari PT Buana Estate. “Kami tidak mengharapkan hasil bumi dari para penggarap. Kami persilahkan masyarakat setempat untuk mengolah lahan kami, silahkan ambil hasilnya,” kata Anim.

Sejauh ini, lanjut Anim, sejak bergabung dengan PT Buana Estate, tingkat kesejahteraan penduduk sekitar semakin meningkat dengan makin banyaknya warga yang memiliki kendaraan. Lagi pula, semua warga sudah memahami status mereka hanya sebagai penggarap. “Jika ada warga yang terhasut oleh oknum-oknum penyerobot tanah, itu hanya sebagian kecil saja,” lanjut Anim.

Kepada para penyerobot tanah, Anim mengingatkan agar mereka menggunakan iman dan hati nuraninya. Janganlah sekali-kali menguasai tanah yang bukan haknya. Ketahuilah, kata Anim, kita semua berasal dari tanah, hidup di atas anah, dan kembali lagi di kalang tanah. “Jika ada persoalan di antara kita, sebaiknya kita selesaikan secara damai sesuai jalur hukum yang berlaku, bukan dengan cara-cara kekerasan,” kata urang Bogor ini.

Menanggapi perseteruan ini, anggota DPRD Kabupaten Bogor tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya memberi pandangan bagaimana hak dan kewajiban PT Buana Estate terhadap lahan yang dikuasainya. Anggota dewan juga menyarankan pihak penggugat, agar mempersiapkan berkas-berkasnya untuk keperluan persidangan, sambil menunggu proses pengadilan di PT TUN yang kini telah berjalan. “Kita tunggu saja hasilnya,” kata Wawan dari Fraksi PKS ini.

Sunday, September 09, 2007

Pengembalian Aset Hasil Korupsi Tidak Maksimal.

Aset-aset hasil korupsi yang seharusnya dikembalikan kepada negara, sejauh ini tidak berjalan secara efektif dan efisien. Untuk itu perlu membentuk agen pengembalian asset dengan hak mengawasi aktivitas otoritas hukum pengembalian asset tindak pidana korupsi, baik prosedural maupun substansial. Demikian dikemukakan YB Purwaning M. Yanuar, dalam sidang terbuka doctoral (S3) di Audotorium Pasca Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung, Jumat, (07/09).

Purwaning, yang tercatat sebagai advokat senior di kantor O.C. Kaligis & Associates, dalam disertasinya mengemukakan, bahwa sistem yang berlaku saat ini belum efektif dan efisien dalam pengembalian aset yang maksimal. Hal ini terjadi karena mekanisme pengembalian aset yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku termasuk KUHAP, terlalu sederhana dan belum memenuhi prinsip-prinsip dan standar yang berlaku internasional. Akibatnya, tidak memungkinkan pengembalian asset secara efektif dan efisien.

Bahkan, kata Purwaning, beberapa negara menginginkan agar pengembalian aset diperlakukan sebagai hak yang tidak dapat dihapus atau dicabut. "Keinginan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa korupsi mengakibatkan hilangnya kesempatan masyarakat negara-negara korban korupsi untuk menikmati hak yang tidak dapat dicabut atau dihapus, yaitu hak untuk secara layak, bahagia dan sejahtera," kata Purwaning, anggota delegasi RI di PBB untuk pembahasan Konvensi Antikorupsi 2003 di Wina, Austria.


Menurut Purwaning, untuk mewujudukan pengembalian secara efektif dan efisien adalah dengan membentuk UU tentang Pengembalian Aset serta membentuk Badan Pengembalian Aset. Badan ini nantinya, kata Purwaning, bertugas mengawasi aktivitas otoritas-otoritas hukum pengembalian aset, baik procedural maupun substansial. Dengan demikian diharapkan pengembalian asset hasil korupsi akan lebih maksimal.

Lebih jauh Purwaning menegaskan bahwa pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi dari perspektif hukum pidana, merupakan upaya mereformasi dan membangun institusi hukum yang dapat mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi pada tingkat internasional, regional, dan nasional.

Dalam disertasi yang berjudul “Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Berasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Purwaning, berpandangan bahwa teori pengembalian asset yang dibangun di atas pandangan dan prinsip-prinsip teori keadilan sosial, merupakan teori hukum yang menjelaskan pengembalian asset berdasarkan prinsip-prinsip keadilan social yang memberikan kemampuan, tugas, dan tanggung jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang kepada individu-individu masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.

Teori pengembalian aset ini, kata Purwaning, dilandaskan pada prinsip dasar antara lain: berikan kepada Negara apa yang menjadi hak Negara. Prinsip ini sebangun dan setara dengan prinsip yang merupakan kewajiban Negara terhadap rakyat, yaitu berikan kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat.

Pendapat ini dikemukakan oleh advokat Purwaning M Yanuar di hadapan tim pengujinya untuk meraih gelar doktor ilmu hukum di Universitas Padjajaran, Bandung, Jumat lalu. Tim penguji yang diketuai Prof HA Djaja Saefullah PhD, didampingi delapan penguji lainnya antara lain lainnya adalah Prof Dr Romli Atamasasmita SH, LLM (Ketua Tim Promotor), dengan anggota promotor antara lain, Prof Dr Muladi SH, Dr Yunus Husein SH,LLM, Prof Indriyanto Senoaji SH, Prof Dr Ahmad M Romli SH, Prof Dr Hj Kusdwiratri Setiono Psi.

Usai memperoleh gelar akademis tertinggi dengan predikat cum laude, Purwaning mendapat ucapan selamat dari para kerabat, teman sejawat, dan para pembimbing yang antara lain terlihat DR. O.C. Kaligis, DR Tommy Sihotang SH, Dr. Djohansyah SH, Rudhy Lontoh, Indriyanto Seno Adji, dan Prof. Muladi. (wid)